KESEHATAN
MENTAL #
“Analisis Kasus”
LADUNI
14513907
2PA09
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
Kemiskinan
Nelayan
Ø Kasus
Sebagai negara bahari
dan kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai sepanjang 81.000 km
(terpanjang kedua setelah Kanada), Indonesia, sebagian besar wilayahnya
merupakan wilayah pesisir (Coastal Zone). Adanya wilayah pesisir ini
justru berdampak pada banyaknya masyarakat miskin yang bermata pencaharian
sebagai nelayan. Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang
mendiami di suatu wilayah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya
bergantung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir. Pada dasarnya,
masyarakat pesisir ini tidak hanya difokuskan pada nelayan saja, melainkan juga
pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan,supplier faktor
sarana produksi perikanan, penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi,
serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut
dan pesisir untuk menyokong kehidupannya.
Diantara kategori
pekerjaan yang terkait dengan kemiskinan, nelayan kerap kali disebut-disebut
sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest
of the poor). Berdasarkan data World Bank mengenai
kemiskinan, disebutkan bahwa sebanyak 108,78 juta orang atau 49% dari
total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Selain
itu, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2008 disebutkan pula bahwa
penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47% diantaranya
adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan.
Kemiskinan masyarakat
pesisir dilatarbelakangi oleh beberapa macam persoalan yang saling berhubungan
satu sama lain. Persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir meliputi aspek
sosial, ekonomi, dan budaya. Kemiskinan ini dapat dikategorikan menjadi 3,
yaitu:
- Kemiskinan
struktural,
yaitu
kemiskinan yang disebabkan karena pengaruhfaktor atau
variabel eksternal di luar individu.
- Misalnya: ketersediaan insentifatau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas
pembangunan,ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunankhususnya
sumberdaya alam. Semakin tinggi variabel tersebut, maka tingkat kemiskinan yang
ada akan semakin berkurang
- Kemiskinan
super struktural;
yaitu kemiskinan yang disebabkan karenakebijakan makro
pemerintah yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Dalam
hal ini pemerintah tidak memiliki kemauan maupun komitmen untuk mengatasi
masalah kemiskinan dari masyarakat pesisir ini.
- Kemiskinan
kultural;
yaitu
kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang
melekat, dan menjadi gaya hidup tertentu (bersifat turun-temurun).
Misalnya saja tingkat pendidikan, kepercayaan, dan adat istiadat.
Pada umumnya yang
menjadi pokok permasalahan dari kemiskinan nelayan itu sendiri adalah dengan tidak
terpenuhinya kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
infrastruktur dan kondisi alam yang tidak menentu. Selain itu, melemahnya
etos kerja dari para nelayan, lemahnya tingkat pendidikan, kurangnya
aksesibilitas terhadap informasi dan teknologi yang masuk, kurangnya biaya
untuk modal semakin menambah masyarakat pesisir menjadi melemah. Di saat yang
bersamaan, kebijakan dari pemerintah tidak memihak pada masyarakat pesisir,
akibatnya kemiskinan yang terjadi di dalam maysarakat pesisir tidak dapat
dihindari.
Ketika kita berbicara
mengenai masyarakat pesisir, dalam hal ini nelayan, dapat dipastikan kita juga
akan membicarakan mengenai kesejahteraannya.Kesejahteraan nelayan terkait
dengan dua hal, yakni akses pada pemanfaatan sumber daya dan akses control pada
pengelolaan sumberdaya. Apabila keduanya tersebut memiliki kemungkinan
yang kecil, maka kesejahteraan nelayan akan terancam.
Kehidupan
nelayan di Indonesia sendiri dapat dikatakan masih
Belum makmur. Berdasarkan data BPS Tahun
2002 yang diolah SEMERU 2003 disebutkan bahwa sebesar 32,14% dari 16,4 juta
jiwa masyarakat pesisir di Indonesia yang masih hidup di 8.090 desa ternyata
berada dibawah garis kemiskinan. Adanya tsunami yang terjadi di Aceh tahun
2004, kenaikan BBM menyebabkan jumlah masyarakat miskin di kawasan pesisir
menjadi meningkat. Beberapa contoh kasus yang menggambarkan kehidupan
masyarakat nelayan Indonesia diantaranya:
1. Pemberdayaan masyarakat nelayan di Demak Utara yang masih
minim. Dalam hal ini, kinerja pemerintah dan Dewan belum maksimal, karena
yang diberdayakan baru sebagian desa pesisir, baik dari bidang ekonomi,
pendidikan, maupun infrastruktur. Ketidakmerataan pemberdayaan inilah yang
menyebabkan nelayan di Demak Utara masih minim dalam mengeskplor sumber daya
yang dimilikinya.
2. Potret keluarga nelayan di Riau yang tidak jauh berbeda
dengan nelayan pada umumnya di Indonesia, yakni nelayan kecil bermodalkan
tenaga dan peralatan tangkap ikan sederhana, berpendidikan rendah, minim
pengetahuan informasi pasar, dan terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
3. Penelitian yang terjadi
pada keluarga nelayan miskin di sepanjang wilayah Pantai Prigi Kabupaten
Trenggalek, dimana di dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa nelayan
miskin merupakan bagian
dari komunitas masyarakat pesisir yang secara sosial-ekonomi rentan, tidak
memiliki tabungan, kurang atau tidak berpendidikan. Jumlah anak yang cenderung
banyak menyebabkan beban yang ditanggung menjadi berat karena tidak sebanding
dengan sumber penghasilan yang diperoleh. Pasca kenaikan harga
BBM, tekanan kemiskinan yang dialami keluarga nelayan miskin cenderung
makin bertambah
karena kenaikan harga kebutuhan sehari-hari yang
bertolak belakang dengan kecenderungan menurunnya penghasilan yang
diperoleh oleh keluarga nelayan miskin. Adanyaketerbatasan
teknologi dan aset produksi yang dimiliki nelayan miskin di kawasan Pantai
Prigi, musim
paceklik dan semakin berkurangnya sumber daya laut di
wilayah sekitar pantai merupakan kondisi yang kerap kali menyebabkan
kehidupan sehari-hari nelayan miskin makin terpuruk. Usaha dari hasil
melaut tidak lagi dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga
Ø Analisis
A. Penyebab
Nelayan Miskin
Lalu, mengapa lirih cerita
kemiskinan nelayan terus menggaung di negeri tercinta ini? Penulis
buku Ekologi Politik Nelayan, Arif Satria dalam bukunya pernah menuliskan ada
sebuah anekdot yang disampaikan Siswono Yudohusodo Ketua Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) yaitu ada tiga
kelompok dalam masyarakat kita.
Pertama, yang kerjanya banyak dan penghasilannya
banyak, tentu siapa lagi kalau bukan pengusaha. Kedua, yang kerjanya sedikit,
namun penghasilannya banyak, yaitu pejabat. Ketiga, yang kerjanya banyak namun
penghasilannya sedikit, itulah nelayan. Anekdot tersebut merupakan gambaran
nelayan dari dulu hingga sekarang yang menjadi masyarakat termiskin di
Indonesia. Baik dari masa orde baru
hingga masa reformasi nelayan tetap saja dalam posisi the poor of the poorest. Sejak dibentuknya Departemen Eksplorasi
Laut pada era Presiden Gusdur, yang kini telah berubah nama menjadi Departemen
Kelautan dan Perikanan dengan maksud mengembalikan fungsi laut, ternyata
kemiskinan tetap mendarah daging pada nelayan. Sebagai kelompok penting,
nelayan masih belum diperhitungkan. Data Badan
Pusat Statistik (BPS) menyebutkan,
total jumlah penduduk mencapai 7,87 juta
jiwa atau 25,14% dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 31,02 juta
jiwa. Dalam buku The Blue Future of Indonesia, Rokhmin
Dahuri Pakar Kelautan dan Lingkungan melansir, sejauh ini pendapatan nelayan,
khususnya nelayan tradisional dan nelayan ABK dari kapal ikan komersial atau
modern (diatas 30 GT), pada umumnya kecil (kurang dari Rp 1 juta per bulan) dan
sangat fluktuatif alias tidak menentu. Pendapatan tersebut lebih kecil dari
pengeluaran.
B. Kemiskinan Kultural Nelayan
Seperti yang diketahui kebanyakan
orang bahwa nelayan miskin karena faktor kurangnya perhatian pemerintah dan
kebijakan yang tidak berpihak kepada nelayan. Namun, ternyata dibalik faktor
penyebab tersebut adapula penyebab lainnya yaitu diakibatkan sikap malas yang
dimiliki nelayan, walaupun presentasenya kecil.
Rokhmin menyebutkan kemiskinan sendiri terbagi
menjadi beberapa variabel, diantaranya kemiskinan alam, kemiskinan kultural
seperti sikap malas, dan kemiskinan struktural yaitu kebijakan infrastuktur.
Nyatanya, kemiskinan di Indonesia, 70 persen. Dari ketiga variabel tersebut, memang tidak menutup
mata, persentase paling besar kemiskinan nelayan di Indonesia merupakan
kemiskinan strukuktural seperti kebijakan infrastruktur yang tidak memadai.
Namun yang perlu diingat bahwa terdapat pula kemiskinan kultural. Apakah itu
kemiskinan kultural?
Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya
nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas,
mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja. Ciri dari kebudayaan
kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam
lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat
luas. Kebudayaan kemiskinan biasanya merupakan efek domino dari belenggu
kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga
membuat masyarakat apatis, dan pasrah.
Akibat kehidupan yang terjepit, para nelayan pun tak
urung mencari utang. Nommy Horas Thombang Siahaan, mantan Hakim
Mahkamah Agung dan penulis buku Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan
mengatakan ancaman-ancaman yang datang mengganggu kehidupan para nelayan ialah
para rentenir, tukang kredit, dan para tengkulak yang tanpa disadari
memerosotkan mereka pada kemiskinan abadi. Permasalahan kemiskinan
kultural masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam
suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam
menjalankan usahanya Jaminan sosial dalam suatu masyarakat merupakan
implementasi dari bentuk-bentuk perlindungan, baik yang diselenggarakan oleh
negara, maupun institusi-institusi sosial yang ada pada masyarakat terhadap
individu dari resiko-resiko tertentu dalam hidupnya.
Sebagai contoh, tingginya harga bahan bakar
minyak (BBM) yang tidak hanya dirasakan pemilik kendaraan “darat”, sejumlah
nelayan “sang pemilik kendaraan laut” terpaksa harus mengurungkan niat mencari
ikan karena “mahalnya” ditambah dengan ketiadaannya solar. Banyak program belum menyentuh akar permasalahan kemiskinan
nelayan. Sebagian besar program hanya bersifat populis alias pencitraan,
seperti bagi-bagi Raskin (Beras Miskin), BLT (Bantuan Langsung), serta
pemberian kapal dan modal usaha nelayan di daerah-daerah yang sumberdaya
ikannya telah overfishing (kelebihan tangkap).
Langkah tersebut
tidak hanya mengakibatkan semakin terkikisnya Sumber Daya Ikan (SDI) laut,
tetapi juga membuat nelayan kian melarat. Selain itu, membuat nelayan
malas dan menjadi ‘tangan dibawah’ alias bergantung pada pemberian
pemerintah.
Pola
kehidupan nelayan. Pola hidup
konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat
penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan
dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder.
Ø Teori
Sudut pandang teoritik
yang melukiskan pengetahuan hanya dari
satu perspektif. sedangkan ilmuwan yang kreatif pasti menggunakan berbagai
perspektif teoritik (William McGuire,
1994). Teori-teori besar atau perspektif yang ada dalam Psikologi Sosial: Teori Belajar, Teori Peranan, Teori Genetik,
Teori Psikoanalisa, Teori Kognitif. Beberapa teori berkaitan dengan kemiskinan
nelayan :
2.4.1 Teori Belajar
Teori ini merupakan lawan dari teori
genetik. Teori belajar lebih menekankan pada peranan situasi dan lingkungan
sebagai sumber penyebab tingkah laku. Teori ini menganalisa tingkah laku sosial
dalam istilah “asosiasi yang dipelajari” antara stimulus dan respon.
Tokoh-tokoh teori ini antara lain : Pavlov, Skinner, Albert Bandura.
Contoh langsung aplikasi teori belajar dalam
psikologi sosial yaitu teori pertukaran sosial. Jika kita memperhatikan
interaksi social, maka akan nampak ada alasan masuk akal untuk meramalkan bahwa
manusia cenderung berinteraksi social (George Homans). Cenderung menempatkan
penyebab perilaku terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengertian
individu subjektif terhadap yang terjadi. Hal ini terjadi pada nelayan yang
terpengaruh pada kebiasaan lingkungan yang mebiasakan mereka bersikap malas
yang menyebabkan mereka terbiasa berperilaku konsumtif, ceroboh dan hanya
meminta. ”Sebagian besar program hanya bersifat
populis alias pencitraan, seperti bagi-bagi Raskin (Beras Miskin), BLT (Bantuan
Langsung), serta pemberian kapal dan modal usaha nelayan di daerah-daerah yang
sumberdaya ikannya telah overfishing (kelebihan
tangkap). Langkah tersebut tidak hanya mengakibatkan semakin terkikisnya
SumberDaya Ikan (SDI) laut, tetapi juga membuat nelayan kian melarat.
Selain itu, membuat nelayan malas dan menjadi ‘tangan dibawah’ alias
bergantung pada pemberian pemerintah. Pola
kehidupan nelayan. Pola hidup
konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat
penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan
dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder. kemiskinan kultural menurut Lewis (Suharto, 2005),
merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau
kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah
pada nasib, kurang memiliki etos kerja. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini
adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama,
sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Kebudayaan
kemiskinan biasanya merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural
yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis,
pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir.
Ø Referensi
1. Referensi Jurnal
2.
Referensi Buku
- Anas, Pigoselpi.2013. Membongkar Akar Kemiskinan Nelayan. Bogor: RODA Bahari
- Riyanti Dwi B.P.& Prabowo, Hendro. 1998. Psikologi Umum 2. Jakarta: Gunadarma