LaduniLaduniLaduni

LaduniLaduniLaduni

Gunadarma University

Gunadarma University
S1 - Psikologi

Senin, 16 Maret 2015

Kesehatan Mental

KESEHATAN MENTAL #
Analisis Kasus
LADUNI
14513907
2PA09
PSIKOLOGI

UNIVERSITAS GUNADARMA





Kemiskinan Nelayan

Ø  Kasus


Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang kedua setelah Kanada), Indonesia, sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah pesisir (Coastal Zone). Adanya wilayah pesisir ini justru berdampak pada banyaknya masyarakat miskin yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang mendiami di suatu wilayah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir. Pada dasarnya, masyarakat pesisir ini tidak hanya difokuskan pada nelayan saja, melainkan juga pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan,supplier faktor sarana produksi perikanan, penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya.
Diantara kategori pekerjaan yang terkait dengan kemiskinan, nelayan kerap kali disebut-disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor). Berdasarkan data World Bank mengenai kemiskinan, disebutkan bahwa sebanyak 108,78 juta orang atau 49% dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Selain itu, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2008 disebutkan pula bahwa penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47% diantaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan.
Kemiskinan masyarakat pesisir dilatarbelakangi oleh beberapa macam persoalan yang saling berhubungan satu sama lain. Persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir meliputi aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Kemiskinan ini dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu:
  • Kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan karena pengaruhfaktor atau variabel eksternal di luar individu.
  • Misalnya: ketersediaan insentifatau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan,ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunankhususnya sumberdaya alam. Semakin tinggi variabel tersebut, maka tingkat kemiskinan yang ada akan semakin berkurang
  • Kemiskinan super struktural; yaitu kemiskinan yang disebabkan karenakebijakan makro pemerintah yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Dalam hal ini pemerintah tidak memiliki kemauan maupun komitmen untuk mengatasi masalah kemiskinan dari masyarakat pesisir ini.
  • Kemiskinan kultural; yaitu kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, dan menjadi gaya hidup tertentu (bersifat turun-temurun). Misalnya saja tingkat pendidikan, kepercayaan, dan adat istiadat.
Pada umumnya yang menjadi pokok permasalahan dari kemiskinan nelayan itu sendiri adalah dengan tidak terpenuhinya kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, infrastruktur dan kondisi alam yang tidak menentu. Selain itu, melemahnya etos kerja dari para nelayan, lemahnya tingkat pendidikan, kurangnya aksesibilitas terhadap informasi dan teknologi yang masuk, kurangnya biaya untuk modal semakin menambah masyarakat pesisir menjadi melemah. Di saat yang bersamaan, kebijakan dari pemerintah tidak memihak pada masyarakat pesisir, akibatnya kemiskinan yang terjadi di dalam maysarakat pesisir tidak dapat dihindari.
Ketika kita berbicara mengenai masyarakat pesisir, dalam hal ini nelayan, dapat dipastikan kita juga akan membicarakan mengenai kesejahteraannya.Kesejahteraan nelayan terkait dengan dua hal, yakni akses pada pemanfaatan sumber daya dan akses control pada pengelolaan sumberdaya. Apabila keduanya tersebut memiliki kemungkinan yang kecil, maka kesejahteraan nelayan akan terancam.
Kehidupan nelayan di Indonesia sendiri dapat dikatakan masih
Belum makmur. Berdasarkan data BPS Tahun 2002 yang diolah SEMERU 2003 disebutkan bahwa sebesar 32,14% dari 16,4 juta jiwa masyarakat pesisir di Indonesia yang masih hidup di 8.090 desa ternyata berada dibawah garis kemiskinan. Adanya tsunami yang terjadi di Aceh tahun 2004, kenaikan BBM menyebabkan jumlah masyarakat miskin di kawasan pesisir menjadi meningkat. Beberapa contoh kasus yang menggambarkan kehidupan masyarakat nelayan Indonesia diantaranya:
1. Pemberdayaan masyarakat nelayan di Demak Utara yang masih minim. Dalam hal ini, kinerja pemerintah dan Dewan belum maksimal, karena yang diberdayakan baru sebagian desa pesisir, baik dari bidang ekonomi, pendidikan, maupun infrastruktur. Ketidakmerataan pemberdayaan inilah yang menyebabkan nelayan di Demak Utara masih minim dalam mengeskplor sumber daya yang dimilikinya.
2. Potret keluarga nelayan di Riau yang tidak jauh berbeda dengan nelayan pada umumnya di Indonesia, yakni nelayan kecil bermodalkan tenaga dan peralatan tangkap ikan sederhana, berpendidikan rendah, minim pengetahuan informasi pasar, dan terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
3. Penelitian yang terjadi pada keluarga nelayan miskin di sepanjang wilayah Pantai Prigi Kabupaten Trenggalek, dimana di dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa nelayan miskin merupakan bagian dari komunitas masyarakat pesisir yang secara sosial-ekonomi rentan, tidak memiliki tabungan, kurang atau tidak berpendidikan. Jumlah anak yang cenderung banyak menyebabkan beban yang ditanggung menjadi berat karena tidak sebanding dengan sumber penghasilan yang diperoleh. Pasca kenaikan harga BBM, tekanan kemiskinan yang dialami keluarga nelayan miskin cenderung makin bertambah karena kenaikan harga kebutuhan sehari-hari yang bertolak belakang dengan kecenderungan menurunnya penghasilan yang diperoleh oleh keluarga nelayan miskin. Adanyaketerbatasan teknologi dan aset produksi yang dimiliki nelayan miskin di kawasan Pantai Prigi, musim paceklik dan semakin berkurangnya sumber daya laut di wilayah sekitar pantai merupakan kondisi yang kerap kali menyebabkan kehidupan sehari-hari nelayan miskin makin terpuruk. Usaha dari hasil melaut tidak lagi dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga

Ø  Analisis

A. Penyebab Nelayan Miskin
Lalu, mengapa lirih cerita kemiskinan nelayan terus menggaung di negeri tercinta ini? Penulis buku Ekologi Politik Nelayan, Arif Satria dalam bukunya pernah menuliskan ada sebuah anekdot yang disampaikan Siswono Yudohusodo Ketua Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) yaitu ada tiga kelompok dalam masyarakat kita.
Pertama, yang kerjanya banyak dan penghasilannya banyak, tentu siapa lagi kalau bukan pengusaha. Kedua, yang kerjanya sedikit, namun penghasilannya banyak, yaitu pejabat. Ketiga, yang kerjanya banyak namun penghasilannya sedikit, itulah nelayan. Anekdot tersebut merupakan gambaran nelayan dari dulu hingga sekarang yang menjadi masyarakat termiskin di Indonesia.  Baik dari masa orde baru hingga masa reformasi nelayan tetap saja dalam posisi the poor of the poorest. Sejak dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut pada era Presiden Gusdur, yang kini telah berubah nama menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan dengan maksud mengembalikan fungsi laut, ternyata kemiskinan tetap mendarah daging pada nelayan. Sebagai kelompok penting, nelayan masih belum diperhitungkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS)  menyebutkan, total  jumlah penduduk mencapai 7,87 juta jiwa atau 25,14% dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 31,02 juta jiwa. Dalam buku  The Blue Future of Indonesia, Rokhmin Dahuri Pakar Kelautan dan Lingkungan melansir, sejauh ini pendapatan nelayan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan ABK dari kapal ikan komersial atau modern (diatas 30 GT), pada umumnya kecil (kurang dari Rp 1 juta per bulan) dan sangat fluktuatif alias tidak menentu. Pendapatan tersebut lebih kecil dari pengeluaran. 

B. Kemiskinan Kultural Nelayan
Seperti yang diketahui kebanyakan orang bahwa nelayan miskin karena faktor kurangnya perhatian pemerintah dan kebijakan yang tidak berpihak kepada nelayan. Namun, ternyata dibalik faktor penyebab tersebut adapula penyebab lainnya yaitu diakibatkan sikap malas yang dimiliki nelayan, walaupun presentasenya kecil.
Rokhmin menyebutkan kemiskinan sendiri terbagi menjadi beberapa variabel, diantaranya kemiskinan alam, kemiskinan kultural seperti sikap malas, dan kemiskinan struktural yaitu kebijakan infrastuktur. Nyatanya, kemiskinan di Indonesia, 70 persen. Dari ketiga variabel tersebut, memang tidak menutup mata, persentase paling besar kemiskinan nelayan di Indonesia merupakan kemiskinan strukuktural seperti kebijakan infrastruktur yang tidak memadai. Namun yang perlu diingat bahwa terdapat pula kemiskinan kultural. Apakah itu kemiskinan kultural?
Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Kebudayaan kemiskinan biasanya merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, dan pasrah.
Akibat kehidupan yang terjepit, para nelayan pun tak urung mencari utang. Nommy Horas Thombang Siahaan, mantan Hakim Mahkamah Agung dan penulis buku Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan mengatakan ancaman-ancaman yang datang mengganggu kehidupan para nelayan ialah para rentenir, tukang kredit, dan para tengkulak yang tanpa disadari memerosotkan mereka pada kemiskinan abadi. Permasalahan kemiskinan kultural masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya Jaminan sosial dalam suatu masyarakat merupakan implementasi dari bentuk-bentuk perlindungan, baik yang diselenggarakan oleh negara, maupun institusi-institusi sosial yang ada pada masyarakat terhadap individu dari resiko-resiko tertentu dalam hidupnya.
Sebagai contoh, tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) yang tidak hanya dirasakan pemilik kendaraan “darat”, sejumlah nelayan “sang pemilik kendaraan laut” terpaksa harus mengurungkan niat mencari ikan karena “mahalnya” ditambah dengan ketiadaannya solar. Banyak program belum menyentuh akar permasalahan kemiskinan nelayan.  Sebagian besar program hanya bersifat populis alias pencitraan, seperti bagi-bagi Raskin (Beras Miskin), BLT (Bantuan Langsung), serta pemberian kapal dan modal usaha nelayan di daerah-daerah yang sumberdaya ikannya telah overfishing (kelebihan tangkap). 
Langkah tersebut tidak hanya mengakibatkan semakin terkikisnya Sumber Daya Ikan (SDI) laut, tetapi juga membuat nelayan kian melarat.  Selain itu, membuat nelayan malas dan menjadi ‘tangan dibawah’ alias bergantung pada pemberian pemerintah.
Pola kehidupan nelayan. Pola hidup konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder.


Ø  Teori
Sudut pandang teoritik yang melukiskan  pengetahuan hanya dari satu perspektif. sedangkan ilmuwan yang kreatif pasti menggunakan berbagai perspektif teoritik  (William McGuire, 1994). Teori-teori besar atau perspektif yang ada dalam Psikologi Sosial:  Teori Belajar, Teori Peranan, Teori Genetik, Teori Psikoanalisa, Teori Kognitif. Beberapa teori berkaitan dengan kemiskinan nelayan :
2.4.1  Teori Belajar
           Teori ini merupakan lawan dari teori genetik. Teori belajar lebih menekankan pada peranan situasi dan lingkungan sebagai sumber penyebab tingkah laku. Teori ini menganalisa tingkah laku sosial dalam istilah “asosiasi yang dipelajari” antara stimulus dan respon. Tokoh-tokoh teori ini antara lain : Pavlov, Skinner, Albert Bandura. 
Contoh langsung aplikasi teori belajar dalam psikologi sosial yaitu teori pertukaran sosial. Jika kita memperhatikan interaksi social, maka akan nampak ada alasan masuk akal untuk meramalkan bahwa manusia cenderung berinteraksi social (George Homans). Cenderung menempatkan penyebab perilaku terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengertian individu subjektif terhadap yang terjadi. Hal ini terjadi pada nelayan yang terpengaruh pada kebiasaan lingkungan yang mebiasakan mereka bersikap malas yang menyebabkan mereka terbiasa berperilaku konsumtif, ceroboh dan hanya meminta. ”Sebagian besar program hanya bersifat populis alias pencitraan, seperti bagi-bagi Raskin (Beras Miskin), BLT (Bantuan Langsung), serta pemberian kapal dan modal usaha nelayan di daerah-daerah yang sumberdaya ikannya telah overfishing (kelebihan tangkap). Langkah tersebut tidak hanya mengakibatkan semakin terkikisnya SumberDaya Ikan (SDI) laut, tetapi juga membuat nelayan kian melarat.  Selain itu, membuat nelayan malas dan menjadi ‘tangan dibawah’ alias bergantung pada pemberian pemerintah. Pola kehidupan nelayan. Pola hidup konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder. kemiskinan kultural menurut Lewis (Suharto, 2005), merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Kebudayaan kemiskinan biasanya merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir. 

Ø  Referensi

1. Referensi Jurnal

2. Referensi Buku
  • Anas, Pigoselpi.2013. Membongkar Akar Kemiskinan Nelayan. Bogor: RODA Bahari
  • Riyanti Dwi B.P.& Prabowo, Hendro. 1998. Psikologi Umum 2. Jakarta: Gunadarma

0 komentar:

Posting Komentar

welcome back

welcome back