LaduniLaduniLaduni

LaduniLaduniLaduni

Gunadarma University

Gunadarma University
S1 - Psikologi

Jumat, 13 November 2015

Psikologi Manajemen #

Nama Anggota Kelompok :
  1. Ajeng Putri Ervya        : 10513515
  2. Alfiyani Cahya Fitri     : 10513663
  3. Khanisa Dara P            ; 19513723
  4. Laduni                          : 14513907
  5. Rizka Aghnia Budiarti : 17513887




Psikologi Manajemen #

Nama perusahaan                : Melstore JKT
Alamat                                   : Depok Town Square lantai G
Bidang Usaha                        : Toko sepatu
Berdiri Sejak                         : 2010
Jumlah Karyawan                : 4 karyawan
Cabang                                   : Depok Town Square lantai UG

Planning
Usaha ini berawal dari online shop. Pemilik toko mempunyai budget awal sebesar 15 juta yang ia dapat dalam pinjaman awal kepada temannya. Tetapi modal tersebut kurang dan ia meminjam kembali kepada temannya sebesar 8 juta untuk pemambahan budgeting awal. Pemilik toko mempunyai 2 toko yang berada di Depok Town Square dan 4 karyawan.  Pemilik toko sangat selective dalam memilih karyawan dan menurut pemilik toko tersebut dengan 4 karyawan tersebut cukup efektif dalam mengelola toko tersebut. Pemilik toko mencari karyawan dengan kriteria yang komunikatif, jujur dan baik terhadap pelanggan. Toko tersebut untuk 3 sampai 5 tahun kedepan ingin menjadi produsen sepatu dan ingin memproduksi sendiri barang yang ia jual. Mengedepankan pelayangan dan design sepatu yang sedang menjadi trend dikalangan anak muda.

Organizing
Bentuk struktur organisasi tersebut masih kecil. Pemilik toko, Admin, reseller, karyawan. Pemilik toko bertugas mengatur dan mengawasi toko, karyawan, serta keluar masuknya barang yang dijual pada toko tersebut. Admin lebih bertugas pada penjualan dalam sosial media twitter, facebook, dan instagram. Reseller dan karyawan penjualan barang dilapangan. Penempatan karyawan lebih dilihat dari karakter karyawan tersebut, dengan cara melakukan interview kemudian melakukan training 1minggu. Pemilihan karyawan juga dilakukan oleh pemilik toko tersebut.

Actuating
Pengaplikasian visi dan misi toko tersebut sudah terealisasikan, dapat dilihat dari model sepatu yang mengikuti perkembangan model terkini. Pemilik toko menilai karyawan dari cara karyawan bekerja dengan cara melihat keahlian yang dimiliki karyawan dan menempatkan sesuai dengan keahliannya, jika terjadi kesalahan penempatan pemilik toko merolling dalam bagian yang berbeda selama beberapa hari, agar dapat dilihat bagaimana kinerja karyawan tersebut.

Controlling
Dalam pengendalian toko tersebut, pemilik toko melakukan pengontrolan setiap hari untuk mengecek bagian pembukuan dan persediaan barang serta kinerja dari karyawannya. Pemilik toko melakukan audit sebelum karyawan mendapatkan gaji. Penggajian karyawan tidak dilakukan secara bersamaan hal ini karena pemilik toko mengurangi banyak nya pengeluaran pada waktu bersamaan. Pemilik toko melihat karyawan saat melayani pelanggan yang datang ke toko tersebut, yang dilihat dari komunikasi dan cara yang digunakan untuk menarik pelanggan. Untuk mengontrol stock sepatu, pemilik toko melihat pembukuan pembelian barang, dilihat desain sepatu apa saja yang habis stocknya. Kemudian pemilik toko pergi ke distributor untuk mengambil stock yang habis. Awalnya pemilik toko survei lokasi yang akan diambil selama 3 hari saat weekdays dan weekend. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah lokasi tersebut ramai atau tidak. 





Kamis, 26 Maret 2015

Kesehatan Mental #

LADUNI
2PA09
14513907
PSIKOLOGI
“Perkembangan Kesehatan Mental dan Konsep Sehat”


  • SEJARAH PERKEMBANGAN KESEHATAN MENTAL
Secara etimologis, kata “mental” berasal dari kata latin, yaitu “mens” atau “mentis” artinya roh, sukma, jiwa, atau nyawa. Di dalam bahasa Yunani, kesehatan terkandung dalam kata hygiene, yang berarti ilmu kesehatan. Maka kesehatan mental merupakan bagian dari hygiene mental (ilmu kesehatan mental) (Yusak Burhanuddin, 1999: 9). Kesehatan mental (mental hygiens) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani (M. Buchori dalam Jalaluddin,2004: 154) Menurut H.C. Witherington, kesehatan mental meliputi pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan Psikologi, kedokteran, Psikiatri, Biologi, Sosiologi, dan Agama (M. Buchori dalam Jalaluddin,2004: 154) Seperti kesehatan fisik, kesehatan mental merupakan aspek sangat penting bagi setiap fase kehidupan manusia.
Keshatan mental terentang dari yang baik sampai dengan yang buruk. Setiap orang, mungkin dalam hidupnya mengalami kedua sisi rentangan tersebut, kadang-kadang keadaan mentalnya sangat sehat, tetapi dilain waktu justru sebaliknya. Pada saat mengalami masalah kesehatan mental, seseorang membutuhkan pertolongan orang lain untuk mengatasi masalah yang dihadapinya tersebut. Kesalahan mental dapat memberikan dampak terhadap kehidupan sehari-hari atau masa depan seseorang termasuk anak-anak dan remaja. Merawat dan melindungi keshatan mental anak-anak merupakan aspek yang sangat penting yang dapat membantu perkembangan anak yang lebih baik di masa depan.

1. Kesehatan Mental Pra-ilmiah
Seperti juga psikologi yang mempelajari hidup kejiwaan manusia, dan memiliki usia sejak adanya manusia di dunia, maka masalah kesehatan jiwa itupun telah ada sejak beribu-ribu tahun yang lalu dalam bentuk pengetahuan yang sederhana. Beratus-ratus tahun yang lalu orang menduga bahwa penyebab penyakit mental adalah syaitan-syaitan, roh-roh jahat dan dosa-dosa. Oleh karena itu para penderita penyakit mental dimasukkan dalam penjara-penjara di bawah tanah atau dihukum dan diikat erat-erat dengan rantai besi yang berat dan kuat. Namun, lambat laun ada usaha-usaha kemanusiaan yang mengadakan perbaikan dalam menanggulangi orang-orang yang terganggu mentalnya ini. Philippe Pinel di Perancis dan William Tuke dari Inggris adalah salah satu contoh orang yang berjasa dalam mengatasi dan menanggulangi orang-orang yang terkena penyakit mental.

2. Era Pra-Ilmiah
Kepercayaan Animisme
Sejak zaman dulu sikap terhadap gangguan kepribadian atau mental telah muncul dalam konsep primitif animeisme, ada kepercayaan bahwa dunia ini diawasi atau dikuasisi oleh roh-roh atau dewa-dewa. Orang primitrif percaya bahwa angin bertiup, ombak mengalun, batu berguling, dan pohon tumbuh karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda tersebuit. Orang yunani percaya bahwa gangguan mental terjadi karena dewa marah dan membawa pergi jiwanya. Untuk menghindari kemarahannya, maka mereka mengadakan perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra dari korban.

3. Era Ilmiah (Modern)
Perubahan yang sangat berarti dalam sikap dan era pengobatan gangguan mental, yaitu dari animisme (irrasional) dan tradisional ke sikap dan cara yang rasional (ilmiah), terjadi pada saat berkembangnya Psikologi Abnormal dan psikiatri di Amerika Serikat, yaitu pada tahun 1783. ketika itu benyamin rush (1745-1813) menjadi anggota staff medis dirumah sakit Penisylvania. Dirumah sakit ini ada 24 pasien yang dianggap sebagai ”lunaties” (orang-orang gila atau sakit ingatan).
Pada waktu itu sedikit sekali pengetahuan tentang penyakit kegilaan tersebut, dan kurang mengetahui bagaimana menyembuhkannya. Sebagai akibatnya, pasien-pasien tersebut didukung dalam sel yang kurang sekali alat ventilasinya, dan mereka sekali-sekali digugur dengan air. Perkembangan kesehatan mental dipengaruhi oleh gagasan, pemikiran dan inspirasi para ahli, dalam hal ini terutama dari dua tokoh perintis, yaitu Dorothea Lynde Dix dan Clifford Whittingham Beers. Kedua orang ini banyak mendedikasikan hidupnya dalam bidang
pencegahan gangguan mental dan pertolongan bagi orang-orang miskin dan lemah. Dorthea Lynde Dix lahir pada tahun 1802 dan meninggal duinia tanggal 17 July 1887. dia adalah seorang guru sekolah di Massachussets, yang menaruh perhatian terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental. Sebagian perintis (pioneer), selama 40tahun dia berjuang untuk memberikan pengorbanan terhadap orang-orang gila secara lebih manusiawi. Dewasa ini perhatian orang-orang terhadap kesehatan mental semakin besar. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya fasilitas kesehatan bagi para penderita gangguan mental, keluarga yang memiliki anggota keluarga yang memiliki gangguan mental pun sudah tidak merasa malu untuk membawa berobat, di masa lalu anggota keluarga yang mengalami gangguan mental dikucilkan bahkan ada pula yang dipasung.
Demikian pula disekolah tidak lepas dari pengaruh kesehatan mental. Para pendidik semakin menyadari perlunya pengetrapan prinsip-prinsip kesehatan mental untuk tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Justru sekolah yang mempunyai peranan besar dalam “membentuk” manusia-manusia yang sehat badan dan jiwanya. Problem kesehatan mental sebenarnya sudah ada sejak manusia sendiri itu ada. Sejak dulu manusia tidak hanya mengalami sakit jasmani tetapi juga merasakan kesedihan,tertekan dan putus asa. Dan tentu saja orang juga berusaha untuk menyembuhkan sakit non-jasmaniahnya baik dengan cara yang rasional misalnya dengan minta nasehat pada orang tua, orang yang dituakan atau dianggap bijak dan dengan cara yang irasional dengan pergi ke dukun atau melakukan penyembahan pada benda-benda yang dianggap keramat. Perkembangan kebudayaan, tekhnologi dan ilmu pengetahuan mempengaruhi cara-cara orang untuk mengatasi problem non jasmaniah yang semakin lama tumbuh menjadi ilmu pengetahuan sendiri.

  • KONSEP SEHAT
Konsep sehat pada masyarakat awam lebih merujuk kepada keadaan fisik jasmaniah seseorang yaitu sehat atau sakit. Akan tetapi sesungguhnya konsep sehat tidak hanya  dari segi fisik saja, tedapat dimensi-dimensi lain seperti emosi, intelektual, sosial dan spiritual. WHO mendefinisikan kesehatan sebagai: “… keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani) dan sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan … “ (Smet, 1994). Sehat sendiri dapat dikatakan sebagai suatu kondisi normal, nyaman dan bahagia baik secara fisik , emosi (EQ), intelektual (IQ), spritual (SQ) dan sosial. Serta dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa terganggu. Sedangkan sakit itu sendiri diartikan sebagai keadaan fisik tubuh yang terganggu yang menyebabkan perasaan tidak nyaman dan tidak mengenakan.
Konsep sehat menurut Parkins (1938) adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dan berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya. Sedangkan menurut White (1977), Sehat adalah suatu keadaan di mana seseorang pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda suatu penyakit dan kelainan. WHO pun mengembangkan defenisi tentang sehat. Konsep sehat menurut WHO tahun 1974, menyebutkan bahwa sehat adalah keadaan sempurna dari fisik, mental, sosial, tidak hanya bebas  
dari penyakit atau kelemahan. Konsep-konsep kesehatan dikembangkan berdasarkan :

1. Dimensi Emosional
Menurut Goleman, emosional merupakan hasil campur dari rasa takut, gelisah, marah, sedih dan senang. Orang yang sehat secara emosi dapat terlihat dari kestabilan dan kemampuannya mengontrol dan mengekspresikan perasaan (marah, sedih atau senang) secara tidak berlebihan.
2. Dimensi Intelektual
Kesehatan intelektual meliputi usaha untuk secara terus-menerus tumbuh dan belajar untuk beradaptasi secara efektif dengan perubahan baru. Bagaimana seseorang berfikir, wawasannya, pemahamannya, alasannya, logika dan pertimbangnnya. Dikatakan sehat  secara intelektual yaitu jika seseorang memiliki kecerdasan dalam kategori yang baik mampu melihat realitas. Memilki nalar yang baik dalam memecahkan masalah atau mengambil keputusan.
3. Dimensi Fisik
Menurut dimensi fisik, seseorang dikatakan sehat secara fisiologis (fisik) bila terlihat normal, tidak cacat, tidak mudah sakit, tidak kekurangan sesuatu apapun. Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan.

4. Dimensi Sosial
Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai. Sehat secara sosial dapat dikatakan mereka yang bisa berinteraksi dan berhubungan baik dengan sekitarnya mampu untuk bekerja sama. Tingkah laku manusia dalam kelompok sosial, keluarga, pernihakan, dan sesama lainnya, penerimaan norma sosial dan pengendalian tingkah laku.
5. Dimensi Spiritual
Spiritual merupakan kehidupan kerohanian. Dengan menyerahkan diri dengan bersujud dengan kepercayaan agama masing-masing. Sementara orang yang sehat secara spiritual adalah mereka yang memiliki suatu kondisi ketenangan jiwa dengan id mereka. Secara rohani dianggap sehat karena pikirannya jernih tidak melakukan atau bertindak hal-hal yang diluar batas kewajaran sehingga bisa berpikir rasional. Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana  ini, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa.

  • REFERENSI
2. http://www.psychoshare.com/file-243/psikologi-klinis/sejarah-pergerakan-kesehatan-mental.html

Senin, 16 Maret 2015

Kesehatan Mental

KESEHATAN MENTAL #
Analisis Kasus
LADUNI
14513907
2PA09
PSIKOLOGI

UNIVERSITAS GUNADARMA





Kemiskinan Nelayan

Ø  Kasus


Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang kedua setelah Kanada), Indonesia, sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah pesisir (Coastal Zone). Adanya wilayah pesisir ini justru berdampak pada banyaknya masyarakat miskin yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang mendiami di suatu wilayah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir. Pada dasarnya, masyarakat pesisir ini tidak hanya difokuskan pada nelayan saja, melainkan juga pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan,supplier faktor sarana produksi perikanan, penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya.
Diantara kategori pekerjaan yang terkait dengan kemiskinan, nelayan kerap kali disebut-disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor). Berdasarkan data World Bank mengenai kemiskinan, disebutkan bahwa sebanyak 108,78 juta orang atau 49% dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Selain itu, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2008 disebutkan pula bahwa penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47% diantaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan.
Kemiskinan masyarakat pesisir dilatarbelakangi oleh beberapa macam persoalan yang saling berhubungan satu sama lain. Persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir meliputi aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Kemiskinan ini dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu:
  • Kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan karena pengaruhfaktor atau variabel eksternal di luar individu.
  • Misalnya: ketersediaan insentifatau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan,ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunankhususnya sumberdaya alam. Semakin tinggi variabel tersebut, maka tingkat kemiskinan yang ada akan semakin berkurang
  • Kemiskinan super struktural; yaitu kemiskinan yang disebabkan karenakebijakan makro pemerintah yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Dalam hal ini pemerintah tidak memiliki kemauan maupun komitmen untuk mengatasi masalah kemiskinan dari masyarakat pesisir ini.
  • Kemiskinan kultural; yaitu kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, dan menjadi gaya hidup tertentu (bersifat turun-temurun). Misalnya saja tingkat pendidikan, kepercayaan, dan adat istiadat.
Pada umumnya yang menjadi pokok permasalahan dari kemiskinan nelayan itu sendiri adalah dengan tidak terpenuhinya kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, infrastruktur dan kondisi alam yang tidak menentu. Selain itu, melemahnya etos kerja dari para nelayan, lemahnya tingkat pendidikan, kurangnya aksesibilitas terhadap informasi dan teknologi yang masuk, kurangnya biaya untuk modal semakin menambah masyarakat pesisir menjadi melemah. Di saat yang bersamaan, kebijakan dari pemerintah tidak memihak pada masyarakat pesisir, akibatnya kemiskinan yang terjadi di dalam maysarakat pesisir tidak dapat dihindari.
Ketika kita berbicara mengenai masyarakat pesisir, dalam hal ini nelayan, dapat dipastikan kita juga akan membicarakan mengenai kesejahteraannya.Kesejahteraan nelayan terkait dengan dua hal, yakni akses pada pemanfaatan sumber daya dan akses control pada pengelolaan sumberdaya. Apabila keduanya tersebut memiliki kemungkinan yang kecil, maka kesejahteraan nelayan akan terancam.
Kehidupan nelayan di Indonesia sendiri dapat dikatakan masih
Belum makmur. Berdasarkan data BPS Tahun 2002 yang diolah SEMERU 2003 disebutkan bahwa sebesar 32,14% dari 16,4 juta jiwa masyarakat pesisir di Indonesia yang masih hidup di 8.090 desa ternyata berada dibawah garis kemiskinan. Adanya tsunami yang terjadi di Aceh tahun 2004, kenaikan BBM menyebabkan jumlah masyarakat miskin di kawasan pesisir menjadi meningkat. Beberapa contoh kasus yang menggambarkan kehidupan masyarakat nelayan Indonesia diantaranya:
1. Pemberdayaan masyarakat nelayan di Demak Utara yang masih minim. Dalam hal ini, kinerja pemerintah dan Dewan belum maksimal, karena yang diberdayakan baru sebagian desa pesisir, baik dari bidang ekonomi, pendidikan, maupun infrastruktur. Ketidakmerataan pemberdayaan inilah yang menyebabkan nelayan di Demak Utara masih minim dalam mengeskplor sumber daya yang dimilikinya.
2. Potret keluarga nelayan di Riau yang tidak jauh berbeda dengan nelayan pada umumnya di Indonesia, yakni nelayan kecil bermodalkan tenaga dan peralatan tangkap ikan sederhana, berpendidikan rendah, minim pengetahuan informasi pasar, dan terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
3. Penelitian yang terjadi pada keluarga nelayan miskin di sepanjang wilayah Pantai Prigi Kabupaten Trenggalek, dimana di dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa nelayan miskin merupakan bagian dari komunitas masyarakat pesisir yang secara sosial-ekonomi rentan, tidak memiliki tabungan, kurang atau tidak berpendidikan. Jumlah anak yang cenderung banyak menyebabkan beban yang ditanggung menjadi berat karena tidak sebanding dengan sumber penghasilan yang diperoleh. Pasca kenaikan harga BBM, tekanan kemiskinan yang dialami keluarga nelayan miskin cenderung makin bertambah karena kenaikan harga kebutuhan sehari-hari yang bertolak belakang dengan kecenderungan menurunnya penghasilan yang diperoleh oleh keluarga nelayan miskin. Adanyaketerbatasan teknologi dan aset produksi yang dimiliki nelayan miskin di kawasan Pantai Prigi, musim paceklik dan semakin berkurangnya sumber daya laut di wilayah sekitar pantai merupakan kondisi yang kerap kali menyebabkan kehidupan sehari-hari nelayan miskin makin terpuruk. Usaha dari hasil melaut tidak lagi dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga

Ø  Analisis

A. Penyebab Nelayan Miskin
Lalu, mengapa lirih cerita kemiskinan nelayan terus menggaung di negeri tercinta ini? Penulis buku Ekologi Politik Nelayan, Arif Satria dalam bukunya pernah menuliskan ada sebuah anekdot yang disampaikan Siswono Yudohusodo Ketua Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) yaitu ada tiga kelompok dalam masyarakat kita.
Pertama, yang kerjanya banyak dan penghasilannya banyak, tentu siapa lagi kalau bukan pengusaha. Kedua, yang kerjanya sedikit, namun penghasilannya banyak, yaitu pejabat. Ketiga, yang kerjanya banyak namun penghasilannya sedikit, itulah nelayan. Anekdot tersebut merupakan gambaran nelayan dari dulu hingga sekarang yang menjadi masyarakat termiskin di Indonesia.  Baik dari masa orde baru hingga masa reformasi nelayan tetap saja dalam posisi the poor of the poorest. Sejak dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut pada era Presiden Gusdur, yang kini telah berubah nama menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan dengan maksud mengembalikan fungsi laut, ternyata kemiskinan tetap mendarah daging pada nelayan. Sebagai kelompok penting, nelayan masih belum diperhitungkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS)  menyebutkan, total  jumlah penduduk mencapai 7,87 juta jiwa atau 25,14% dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 31,02 juta jiwa. Dalam buku  The Blue Future of Indonesia, Rokhmin Dahuri Pakar Kelautan dan Lingkungan melansir, sejauh ini pendapatan nelayan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan ABK dari kapal ikan komersial atau modern (diatas 30 GT), pada umumnya kecil (kurang dari Rp 1 juta per bulan) dan sangat fluktuatif alias tidak menentu. Pendapatan tersebut lebih kecil dari pengeluaran. 

B. Kemiskinan Kultural Nelayan
Seperti yang diketahui kebanyakan orang bahwa nelayan miskin karena faktor kurangnya perhatian pemerintah dan kebijakan yang tidak berpihak kepada nelayan. Namun, ternyata dibalik faktor penyebab tersebut adapula penyebab lainnya yaitu diakibatkan sikap malas yang dimiliki nelayan, walaupun presentasenya kecil.
Rokhmin menyebutkan kemiskinan sendiri terbagi menjadi beberapa variabel, diantaranya kemiskinan alam, kemiskinan kultural seperti sikap malas, dan kemiskinan struktural yaitu kebijakan infrastuktur. Nyatanya, kemiskinan di Indonesia, 70 persen. Dari ketiga variabel tersebut, memang tidak menutup mata, persentase paling besar kemiskinan nelayan di Indonesia merupakan kemiskinan strukuktural seperti kebijakan infrastruktur yang tidak memadai. Namun yang perlu diingat bahwa terdapat pula kemiskinan kultural. Apakah itu kemiskinan kultural?
Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Kebudayaan kemiskinan biasanya merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, dan pasrah.
Akibat kehidupan yang terjepit, para nelayan pun tak urung mencari utang. Nommy Horas Thombang Siahaan, mantan Hakim Mahkamah Agung dan penulis buku Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan mengatakan ancaman-ancaman yang datang mengganggu kehidupan para nelayan ialah para rentenir, tukang kredit, dan para tengkulak yang tanpa disadari memerosotkan mereka pada kemiskinan abadi. Permasalahan kemiskinan kultural masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya Jaminan sosial dalam suatu masyarakat merupakan implementasi dari bentuk-bentuk perlindungan, baik yang diselenggarakan oleh negara, maupun institusi-institusi sosial yang ada pada masyarakat terhadap individu dari resiko-resiko tertentu dalam hidupnya.
Sebagai contoh, tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) yang tidak hanya dirasakan pemilik kendaraan “darat”, sejumlah nelayan “sang pemilik kendaraan laut” terpaksa harus mengurungkan niat mencari ikan karena “mahalnya” ditambah dengan ketiadaannya solar. Banyak program belum menyentuh akar permasalahan kemiskinan nelayan.  Sebagian besar program hanya bersifat populis alias pencitraan, seperti bagi-bagi Raskin (Beras Miskin), BLT (Bantuan Langsung), serta pemberian kapal dan modal usaha nelayan di daerah-daerah yang sumberdaya ikannya telah overfishing (kelebihan tangkap). 
Langkah tersebut tidak hanya mengakibatkan semakin terkikisnya Sumber Daya Ikan (SDI) laut, tetapi juga membuat nelayan kian melarat.  Selain itu, membuat nelayan malas dan menjadi ‘tangan dibawah’ alias bergantung pada pemberian pemerintah.
Pola kehidupan nelayan. Pola hidup konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder.


Ø  Teori
Sudut pandang teoritik yang melukiskan  pengetahuan hanya dari satu perspektif. sedangkan ilmuwan yang kreatif pasti menggunakan berbagai perspektif teoritik  (William McGuire, 1994). Teori-teori besar atau perspektif yang ada dalam Psikologi Sosial:  Teori Belajar, Teori Peranan, Teori Genetik, Teori Psikoanalisa, Teori Kognitif. Beberapa teori berkaitan dengan kemiskinan nelayan :
2.4.1  Teori Belajar
           Teori ini merupakan lawan dari teori genetik. Teori belajar lebih menekankan pada peranan situasi dan lingkungan sebagai sumber penyebab tingkah laku. Teori ini menganalisa tingkah laku sosial dalam istilah “asosiasi yang dipelajari” antara stimulus dan respon. Tokoh-tokoh teori ini antara lain : Pavlov, Skinner, Albert Bandura. 
Contoh langsung aplikasi teori belajar dalam psikologi sosial yaitu teori pertukaran sosial. Jika kita memperhatikan interaksi social, maka akan nampak ada alasan masuk akal untuk meramalkan bahwa manusia cenderung berinteraksi social (George Homans). Cenderung menempatkan penyebab perilaku terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengertian individu subjektif terhadap yang terjadi. Hal ini terjadi pada nelayan yang terpengaruh pada kebiasaan lingkungan yang mebiasakan mereka bersikap malas yang menyebabkan mereka terbiasa berperilaku konsumtif, ceroboh dan hanya meminta. ”Sebagian besar program hanya bersifat populis alias pencitraan, seperti bagi-bagi Raskin (Beras Miskin), BLT (Bantuan Langsung), serta pemberian kapal dan modal usaha nelayan di daerah-daerah yang sumberdaya ikannya telah overfishing (kelebihan tangkap). Langkah tersebut tidak hanya mengakibatkan semakin terkikisnya SumberDaya Ikan (SDI) laut, tetapi juga membuat nelayan kian melarat.  Selain itu, membuat nelayan malas dan menjadi ‘tangan dibawah’ alias bergantung pada pemberian pemerintah. Pola kehidupan nelayan. Pola hidup konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder. kemiskinan kultural menurut Lewis (Suharto, 2005), merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Kebudayaan kemiskinan biasanya merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir. 

Ø  Referensi

1. Referensi Jurnal

2. Referensi Buku
  • Anas, Pigoselpi.2013. Membongkar Akar Kemiskinan Nelayan. Bogor: RODA Bahari
  • Riyanti Dwi B.P.& Prabowo, Hendro. 1998. Psikologi Umum 2. Jakarta: Gunadarma

welcome back

welcome back